Di Balik Sepatu Bally

Ifa Hanifah Misbach
4 min readAug 27, 2016

--

(Nilai Sederhana)

Pictured by Alzeinuar

Tenggelam dalam keramaian manusia di kota megapolitan dengan julukan the capitol of universe, akhirnya aku terdampar di kawasan 5th Ave, Manhattan, NYC. Aku lihat sepanjang jalan 5th Ave terhampar bak katalog brand-brand mendunia yang elit. Tentu aku tak sanggup membelinya, sebagai perantau yang hidup dari uang beasiswa yang pas-pasan untuk bertahan hidup dan sedikit menabung, cukuplah kemewahan hanya sampai mata untuk menghibur diri tanpa perlu memiliki.

Beberapa kali aku tertegun melihat tas merk branded yang aku impikan di majalah kini ada di depan mataku tepat di etalase yang aku pandangi sekarang. Aku lihat bandrol harganya, harganya sama dengan setengah dari biaya sewa apartmenku sebulan. Ah…sekali-kali aku harus memanjakan diri sendiri, aku membela diri dalam hati. Tapi… entah kenapa bayangan anaku muncul, aku menghela nafas, nanti bulan depan aku ga akan sanggup kirim sedikit uang sekolah anaku. Kembali niatku diurungkan dan hanya bisa menelan ludah.

Penat kaki berjalan sampai Madison Ave, kulihat dari kejauhan ada toko sepatu Bally dan aku berjalan pelan ke depan etalasenya. Kembali aku tertegun, kali ini bukan karena ingin sepatu Bally model laki-laki di depan mataku. Aku tertegun, sepatu Bally di depan mataku seolah mengundang teks-teks buku sejarah muncul dalam memori kanak-kanaku, terkoneksi dengan tubuhku oleh kisah bapak. Bukan bapak kandungku, tapi bapak bangsa yang pernah berjalan melewati pertokoan di luar negeri. Bung Hatta melihat sepasang sepatu Bally yang terpampang di etalase toko. Bung Hatta sangat terkesima dan ingin memiliki sepatu Bally itu. Sampai-sampai guntingan iklan sepatu Bally itu disimpannya di dalam dompet dan hanya berharap suatu waktu bisa membelinya. Namun hingga akhir hayatnya, mantan wakil presiden dan perdana menteri ini tak bisa membelinya. Karena uang tabungannya tidaklah terus cukup karena selalu diambil untuk membiayai keperluan rumah tangga, atau membantu saudara dan kerabatnya yang membutuhkan pertolongan. Bahkan jika Bung Hatta mau pada saat itu, ia bisa menitip minta dibelikan pada dubes-dubes yang di bawah kendalinya sebagai perdana menteri saat itu. Bung Hatta memilih tak melakukannya. Nuraninya bening membimbimbingnya agar tidak salah meletakan kehormatan dengan merendahkan harga diri hanya untuk kesenangan sesaat.

Air mataku jadi netes. Banyak kisah kesederhanaan Bung Hatta yang membuat trenyuh. Dengan jabatan mentereng sebagai wakil presiden pertama RI, juga pernah sebagai Perdana Menteri, ia kekurangan uang untuk bisa membelikan mesin jahit untuk Rachmi istrinya. Selepas Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, dia hanya memiliki uang tabungan Rp 200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik, air, gas, telefon dan pajak bangunan (PPB). Bang Ali yang saat itu sedang menjabat gubernur DKI terhenyak dan menangis mendengarnya. Bang Ali memperjuangkan melobi DPRD DKI yang akhirnya menyetujui untuk menjadikan Bung Hatta sebagai warga kota utama agar begitu Bung Hatta terbebas dari iuran air, listrik dan PBB.

Karakter sederhana adalah ciri kepribadian yang melekat pada Bung Hatta, namun mewah dalam pikiran dan perbuatan untuk membawa Indonesia merdeka. Padahal jika mau main proyek ataupun menerima tawaran sebagai komisaris BUMN yang bisa makan gaji buta selepas pensiun dan hidup enak, Bung Hatta tentu bisa memperkaya diri jika ia mau, tapi ia menolak semua tawaran itu. Ia tidak ingin memeras bangsanya dengan menduduki jabatan seperti itu.

Bapak bangsa sang guru sederhana itu telah menjadi role model hidup dan menjadi cermin perilaku untuk sosok jenderal yang paling dikenal jujur yaitu jendral Hoegoeng di Kepolisian RI. Dalam memoarnya, Hoegoeng mengaku kagum pada kejujuran Hatta. Bercermin pada Bung Hatta, Hoegoeng merasa malu jika melakukan korupsi sebagai tindakan hina, karena mengetahui bagaimana Bung Hatta masih berprinsip teguh tidak mengambil hak orang lain meski harus melarat selepas pensiun.

Bung Hatta telah berhasil mencapai pribadi mapan yang bermartabat luhur untuk mencapai wisdom. Manusia hanya akan mampu mencapai wisdom takala ia mampu mengendalikan diri bukan dalam situasi sulit tapi justru dalam situasi mudah dan senang. Karena cobaan dan godaan korupsi datang saat kita punya akses kekuasaan otoritas yang mudah untuk memperkaya diri sendiri.

Dari dinding kaca etalase toko Bally yang masih aku pandangi seakan memantulkan kata-kata Bung Hatta yang terpatri di buku sejarah, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.”

Aku berbisik lirih ke langit, “Terpujilah kesederhaan jiwamu yang seluas samudera Bung Hata, negarawan sederhana bermartabat luhur yang menyayangi bangsaku. Semoga Tuhan menyayangi dan mengangkat dirimu di tempat yang paling terpuji di surga sana.”

--

--

Ifa Hanifah Misbach
Ifa Hanifah Misbach

Written by Ifa Hanifah Misbach

Tukang kebun amatir. Pecinta gurilem. Senang ngelayap ke hutan. Niat menulis hanya ingin mewangikan kebaikan dari tumbuhan, hewan, dan manusia.

Responses (1)