Mutiara Hitam Preman Pensiun
(Nilai Peduli)
Sepanjang hidupku, aku memandang preman bukanlah sosok yang baik seperti yang diajarkan orang-orang padaku. Di kepalaku, sosok preman adalah orang yang suka malak dengan kekerasan untuk minta uang, yang kemudian dikenal dengan istilah japrem, jatah preman. Dalam dunia pedagang kaki lima (PKL), cara kerja preman dicirikan dengan menguasai wilayah untuk menjadi wilayah teritori kekuasaannya. Barang siapa yang memakai wilayah kekuasaannya maka harus membayar, jika tidak jangan harap bisa dagang disitu atau jika tetap tidak ingin bayar pada preman maka lapak bisa dibongkar paksa dengan kekuatan otot.
Preman-preman kelas kroco sangat mudah ditemukan di pasar-pasar dan di jalanan. Tapi kelas preman kelas kakap bekerja dengan cara tersembunyi mengatur lalu lintas bisnis besar tanpa terendus. Mereka membentuk mata rantai organisasi kerja oligarki yang lebih sistematis dibandingkan preman jalanan yang tak punya modal.
Begitulah yang aku pelajari dan itu membentuk pola pikirku sampai usiaku mencapai seperempat paruh baya dalam memandang sosok preman. Sampai suatu hari, aku berbincang dengan sosok-sosok tua di suatu kebun sayur nan subur. Kebun sayur ini tidak terletak di perbukitan sejuk di daerah Lembang, justru sepetak kebun sayur ini terletak di balik gedung-gedung tinggi dengan gang-gang sempit nan padat di wilayah Bandung Tengah. Sepetak kebun sayur ini bak oase sejuk di tengah hiruk piku keramaian dan pekatnya polusi kota.
Salah satu sosok tua sudah menarik perhatianku dari awal. Matanya setajam elang. Dia merokok Dji Sam Soe dengan segelas kopi hitam di depannya. Setiap matanya melirik padaku, entah kenapa aku tak berani menatapnya. Terasa ia memiliki aura yang sangat kuat seperti macan tua yang berwibawa. Lalu, oleh seorang sesepuh yang ada disitu, aku diperkenalkan padanya. Ia disuruh bercerita mengenai apa yang ia alami di masa lalunya. Senyumnya terkekeh saat disuruh bercerita. Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, matanya tampak menerawang menembus kepulan asap rokoknya ke udara.
“Hidupku hitam nak. Tapi dari dunia hitam aku akan bercerita kenapa aku menjadi preman dan apa yang aku lakukan dulu. Sekarang saya preman pensiun”, ia terbahak sendiri. “Dulu saya tangan kotor penguasa kepala daerah di sini beberapa periode. Bawaannya selalu ingin ngajak kelahi orang sejak muda. Saya menghidupi anak istri dengan menjadi preman. Sampai suatu hari saya merasa letih dan mulai mencari apa itu makna hidup. Muncul pertanyaan dalam diri sampai kapan saya menjalani hidup seperti ini. Lalu saya memutuskan naik haji. Dan saya ditakut-takuti oleh semua orang yang terbahak mendengar ada preman mau naik haji dan perbuatan saya akan diganjar disana. Bahkan tak sedikit orang mengejek jika nanti saya akan dipukul oleh orang Badui karena saya suka memukul orang”.
Ia tersenyum dan melanjutkan cerita, “Betul akhirnya saya bertemu orang Badui dan pada saat ia bertanya darimana asal saya. Kemudian saya jawab dari Indonesia, spontan ia memeluk saya. Padahal saya sudah siapkan bogem mentah takut dipukul. Tapi tak dinyana, orang Badui itu malah memeluk saya seperti saudara”
Ia terkekeh, “Sialan orang-orang yang menakut-nakutin saya, kan saya jadi punya prasangka negatif”. Ah… tapi dasar bawaan tukang gelut, pas naik haji saya sempat mau hajar agen perjalanan disana yang suka menipu jemaah haji yang lugu mau beli oleh-oleh malah dibisniskan oleh dia dengan harga monopoli lewat jalur bisnis dia. Masa sama bangsa sendiri ngakalin orang, nipu orang-orang yang lugu, saya tidak rela dan merasa harus melindungi para jemaah dari kampung yang lugu”, ia tampak gemas.
“Pulang ke tanah air, aku ingin menjadi manusia yang berguna di sisa umurku. Aku ingin menebus dosa. Tapi ujian manusia datang saat manusia bertobat. Anak keduaku mati di tangan perampok, ia tertembak menyelamatkan orang di toko emas saat akan membeli cincin kawin. Saat berita itu datang, aku sedang bersarung bersiap sholat”. Ia tercekat dan matanya nampak redup. Ada tetesan air mata di sudut mata elangnya. Terbata-bata ia melanjutkan ceritanya, “Hatiku roboh dan gelap mata. Aku berlari sambil masih bersarung ke TKP. Aku dorong polisi yang menghalangiku. Kutemukan mayat anaku terbujur kaku dengan darah luka tembakan di kepalanya. Aku peluk tubunnya kuat-kuat. Aku menangis keras-keras dan berteriak marah”. Saat aku susah tau siapa pelakunya. Aku datangi penjara dan aku ingin menghajar pembunuh anaku sampai mati di sel tahanan. Entah kenapa hatiku menyuruh sholat dulu. Di dalam sel tahanan, aku menangis di hadapan Tuhan. Aku menjadi lemah dan tak berdaya. Dan aku urung membalas dendam”.
Rokok berikutnya ia nyalakan menyambung cerita, “Lalu saya mengabdikan diri sekarang bersama orang-orang miskin yang tak berdaya, para pedagang kaki lima di jalanan, memberdayakan para preman yang miskin agar mereka bisa bekerja. Saya tak punya apa-apa. Otak saya tidak pintar saya hanya punya modal membesarkan otot. Maka saya mengasuh perkumpulan angkat besi untuk merangkul anak-anak putus sekolah. Suatu hari datanglah anak muda miskin, ceking meminta pekerjaan. Saya bingung. Uang saya tidak punya. Saya juga tidak pintar. Tetapi saya sangat ingin menolongnya. Saya tanya pada anak itu apakah masih punya 2 tangan dan 2 kaki? Anak muda itu menjawab ya. Maka saya bilang, kamu masih kaya bukan miskin. Maka anak itu saya latih membesar ototnya selama 6 bulan dengan makanan bergizi dan olahraga teratur. Bersamaan dengan itu, saya mengetuk pintu-pintu perusahaan jaman saya masih jadi centeng disana. Saya meminta pada mantan bos saya untuk dapat memberi pekerjaan penjaga kemananan dan mendapatkan gaji yang sesuai dengan aturan perusahaan untuk anak-anak buah yang telah saya latih. Singkatnya tercapai kesepakatan. Lalu saya kumpulkan anak-anak buah saya dan menasihati agar bekerja secara profesional sebagai penjaga keamanan dan tidak malah ikutan gelut jika terjadi keributan. Kita harus malu menjadi mental peminta-minta. Tuhan itu menyuruh kita berpikir bekerja untuk tidak mengambil hak orang lain”.
Saya terhenyak kagum dengan sepenggal ceritanya, sang preman pensiun ini telah turun tangan memberdayakan warga miskin bukan dengan teori, ia mengabdikan dirinya mengurus jiwa-jiwa jalanan yang hanya dikateorikan miskin secara angka statistik oleh negara. Di balik pribadinya yang keras, sekeras jalan hidupnya, ia memiliki kelembutan hati untuk peduli membantu yang lemah. Aku mendapatkan hikmah mutiara hitam berharga dari lumpur kehidupan jalan hidupnya. Aku pulang dari sepetak kebun sayur seperti pulang dari sekolah kehidupan dan menyadarkan aku untuk don’t judge book from its cover”. Keindahan hati bahkan bisa kau temukan pada sosok yang kau anggap gelap sekalipun. Tuhan selalu punya misteri memberi pelajaran kebijaksanaan hidup.
(Dimuat di link: http://prung.org/mutiara-hitam-preman-pensiun/ )